Advertisement

Di Stasiun Beran yang Kini Jadi Markas Koramil, Cinta Jirah & Sagimin Tumbuh

Salsabila Annisa Azmi & Irwan A. Syambudi
Kamis, 09 Agustus 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
Di Stasiun Beran yang Kini Jadi Markas Koramil, Cinta Jirah & Sagimin Tumbuh Bekas Stasiun Beran sudah menjadi Koramil Sleman. - Harian Jogja/Salsabila Annisa Azmi

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Bekas rel kereta api jalur Jogja-Magelang sudah menghilang sepenuhnya. Stasiun Beran kini sudah menjadi markas tentara. Sisa-sisa kenangan masih hidup di tempat itu. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Salsabila Annisa Azmi dan Irwan A. Syambudi.

Jam pelajaran di SDN Denggung sudah rampung. Jirah, yang rambutnya sudah lepek dan wajahnya lecek, seperti biasanya bertelanjang kaki di pinggir rel. Dia menyusuri rel tersebut hingga tiba di Stasiun Beran, tempat bapaknya bekerja. Setelah bertemu sang ayah di dekat loket pembelian tiket yang hanya seukuran jendela rumahnya, Jirah minta digendong. Dia ikut memeriksa keadaan rel sore itu. Terkadang Jirah ikut mengamati, apakah sekat di antara bagian rel satu dengan yang lain memuai atau tidak. Rel yang memuai itu kemudian dibenahi ayahnya dengan sabar.

Advertisement

Setiap malam, Jirah mendapati ayahnya sering mengeluh sakit pinggang karena terlalu sering membungkuk membenahi rel yang membujur hingga ruas Jalan Magelang. Pada saat itu, jalur kereta dicek tiga kali sepekan. Terkadang Jirah terpaksa pulang terlebih dahulu saat hari sudah gelap, apabila rel yang memuai dan lepas pada jalurnya terlalu banyak ditangani ayahnya.

Ketika Idulfitri, Jirah bangga bukan main kepada sang ayah. Dia bisa mudik ke Cilacap dengan gratis berkat kartu anggota pegawai PJKA yang dimiliki ayahnya.

Jirah tertawa terpingkal-pingkal setelah menceritakan pengalaman yang kerap dia pamerkan kepada teman-teman SD-nya itu kepada Harian Jogja, Senin (6/8). Usianya sudah 63 tahun, tetapi ingatannya masih tajam. Waktu itu sekitar tahun 1960, dia masih duduk di kelas 6 SD. “Stasiun Kutu, Stasiun Mlati, Stasiun Sleman, eh, lewat Stasiun Sleman tidak ya? Eh, lewat. Habis lewat Stasiun Sleman, lewat Stasiun Medari, kemudian Stasiun Tempel, terus ya jalan terus sampai ke Magelang,” jari jemari Jirah yang telah keriput menghitung jumlah stasiun yang ada di Sleman yang dilewati sepur Jogja-Magelang.

Stasiun adalah tempat Jirah bertemu jodohnya. “Suami saya juga orang sini, dia punya banyak kenangan dengan jalur kereta di sini. Bapak dia dulu kan juga kerja di PJKA, kami saja akrabnya di stasiun gara-gara sama-sama nemani bapak kami kerja kok.”

Jirah yang duduk-duduk di teras rumahnya untuk mencari angin segar memanggil suaminya yang masih memelototi tayangan televisi.

Sagimin muncul, mengenakan kaus oblong berwarna biru, menyunggingkan senyum memperlihatkan satu hingga tiga giginya yang masih bertahan di dalam mulut. Meski pun telah berumur 70 tahun, Sagimin ingat betul, tong bekas minyak tanah yang dijadikan tugu sebagai tanda gerbang masuk ke Dusun Beran Kidul, dulunya merupakan jalur kereta. Rel membelah rumpun-rumpun bambu yang tumbuh di sana-sini. Rumah-rumah di perkampungan kebanyakan dihuni oleh pegawai PJKA, termasuk orang tuanya dan orang tua Jirah.

Saat SMP, Sagimin terkadang mengunjungi ayah yang bekerja sebagai pengatur rel. Sagimin masih ingat saat ayahnya mengatur perlintasan berbagai kereta secara manual dengan wesel. Sebagai pengatur jalur, ayahnya tak boleh sekali pun salah perhitungan. Saat memperhatikan ayahnya bekerja, dia kerap bertemu Jirah yang masih berseragam merah putih. Keduanya kemudian bermain bersama sementara bapak mereka bekerja, selanjutnya pulang berdua ke Dusun Beran Kidul sementara hati mereka mulai bertunas.

“Saat usia saya 20 tahunan, saya dan istri saya, waktu sudah jadi teman dekat, paling suka kalau ada sekaten di Jogja. Apalagi pasar malamnya. Saya, istri saya, dan rombongan pemuda dusun naik kereta kluthuk sore-sore. Naiknya dari Stasiun Beran, sampai ke Stasiun Tugu,” kata Sagimin. Jari telunjuknya kemudian teracung.

“Dulu tiketnya persegi panjang, sebesar ini, harganya masih satu rupiah apa ya? Saya lupa. Habis itu nanti di kereta, tiketnya dibolongi pakai pembolong kertas sama petugasnya,” lanjut Sagimin.

Sagimin mencoba mengingat jalur kereta dari Sleman menuju Kota Jogja. Dahinya berkerut, dia terdiam lama, akhirnya dia hanya bisa mengingat sepanjang Jalan Magelang adalah rel kereta yang lurus dan menyimpang di perempatan Pingit. Di sana, kereta akan berbelok dan menuju Stasiun Tugu. Kereta berhenti pukul 19.00 WIB, dan pemuda-pemudi Beran Kidul pulang berjalan kaki dari Alun-Alun.

Setelah menghabiskan liburan kilat, esok Sagimin menuju surau untuk Salat Subuh berjemaah. Di jalan dia sering melihat para pedagang beras, pedagang ayam dan pedagang buah-buahan dari Sleman mengantre tiket di Stasiun Beran. Mereka hendak mengadu nasib di pasar-pasar di Cilacap atau Temanggung.

“Seandainya kereta itu masih ada dan harganya murah, mungkin bakul sini akan lebih mudah juga,” kata Sagimin.

Sisa Stasiun

Jalur kereta Jogja-Magelang yang menyambung sampai Ambarawa telah mati bersamaan dengan ambrolnya jembatan kereta di Krasak akibat terjangan lahar dari Merapi pada 1974. Menurut Bima Taofiq dan Rini Darini dalam penelitian berjudul Perkembangan Transportasi Kereta Api di Magelang Tahun 1898-1942, jalur Jogja-Magelang mulai dibangun pada 1895 dan resmi beroperasi pada 1898.

1978 merupakan tahun terakhir jalur kereta api Jogja-Magelang dioperasikan. Purwito masih berumur sembilan tahun. Ia tinggal sekitar 500 meter dari Stasiun Beran, Tridadi, Sleman. Masa kecilnya akrab dengan lalu lalang sepur, dan bunyi khas kereta uap. Hampir saban hari ia bermain di sekitar stasiun. Tempat bermain yang paling disukai Purwito dan teman-temannya bukan di stasiun, melainkan sebuah tempat pengisian air untuk lokomotif kereta uap yang tidak jauh dari sana.

Di tempat itu, terdapat kolam yang mengalirkan air ke tander atau ketel uap lokomotif.

Tempat bermainnya waktu kecil itu kini telah tiada. Sejumlah bangunan yang dahulu merupakan fasilitas perkeretaapian sebagian telah dirobohkan. Rel berubah jadi jalan raya sejak sekitar 20 tahun lalu. Menara pantau kereta yang dahulu berdiri juga sudah dibongkar. “Tinggal bangunan stasiun yang sekarang jadi Koramil [Sleman],” kata dia kepada Harian Jogja, Kamis (2/8).

Purwito yang tumbuh di lingkungan stasiun tahu betul kereta pernah menjadi tumpuan utama transportasi massal.

“Untuk pergi ke Kecamatan Tempel atau Kabupaten Magelang, orang-orang pada naik kereta,” kata dia.

Stasiun Beran masih kokoh berdiri. Tiga ruangan yang menjadi bangunan utama masih utuh. Setelah berubah fungsi menjadi Koramil Sleman, gedung ini direhab dengan penambahan ruang di samping kiri, kanan, dan belakang bangunan.

Sisa-sisa stasiun masih tampak di koramil tersebut. Tiga ruangan, masing-masing seluas sembilan meter persegi, tak banyak yang diubah. Lantai keramik masih asli berwarna abu-abu dengan corak seperti lantai bangunan zaman Belanda pada umumnya. Sebuah loket tempat pembelian kereta juga masih terlihat.

“Ini alat yang biasa digunakan untuk memindah jalur rel,” kata Komandan Koramil Kapten Infantri Kamdiyo sambil menunjukkan seonggok besi yang terletak di depan bangunan.

Menurut Kamdiyo, beberapa kali petugas dari Direktorat Jenderal Perhubungan, Kementerian Perhubungan mendatangi Koramil. “Kabarnya memang mau diaktifkan lagi [jalur kereta api Jogja-Magelang],” ujar dia.

Menurut Sekretaris Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sleman, Arif Setyo, rencana pengaktifan kembali jalur kereta Jogja-Magelang telah dikajiKementerian Perhubungan. Jenis sepur dan rel yang bakal dilalui belum ditentukan.

“Saat ini ada empat alternatif [jalur] yang belum diputuskan. Dari empat alternatif itu ada yang memanfaatkan jalur lama dan ada yang menggunakan jalur baru. Jalur lama yang masih ada seperti Stasiuan Beran yang sekarang jadi Koramil dan Stasiun Medari yang sekarang jadi posyandu,” kata dia.

Sagimin dan Jirah bungah dengan wacana penghidupan kembali rel kereta api Jogja-Magelang. Di usia mereka yang senja, ingin rasanya sejoli itu sampai ke Jogja tanpa harus menerjang macet. Namun, ada persoalan yang tak bisa diabaikan.

“Kalau dusun kami sepertinya tidak akan kena pembebasan lahan, ini kan tanah kami, yang mungkin kena itu yang Jalan PJKA, itu kan punya Kraton. Itu juga harus dipikirkan, nanti warganya mau ditaruh di mana kalau situ dijadikan rel baru,” kata Sagimin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Bantuan Keuangan Politik Disalurkan Dua Tahap

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 15:07 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement