Advertisement

LONG-FORM: Ramadan, Ramai-Ramai Membendung Politisasi Masjid

Tim Lipsus Harian Jogja
Selasa, 22 Mei 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
LONG-FORM: Ramadan, Ramai-Ramai Membendung Politisasi Masjid Masjid dipakai untuk mendaras Alquran. - Antara/Muhammad Arif Pribadi

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Masjid menjadi tempat yang menggiurkan bagi sejumlah orang untuk mengeruk dukungan dari massa. Beberapa orang berusaha memanfaatkan masjid selama Ramadan demi kepentingan elektoral. Takmir ramai-ramai membentengi masjid.

Pengurus Masjid Agung Manunggal Bantul sangat selektif dalam menggamit pendakwah untuk mengisi khotbah jumat, kuliah subuh, dan kuliah tujuh menit sebelum tarawih selama Ramadan. Takmir tidak ingin masjid milik Pemerintah Kabupaten Bantul itu digunakan untuk kepentingan politik pemilu.

Advertisement

“Sejak kemarin banyak yang minta untuk mengisi ceramah, kami tidak mengizinkan karena takut ada pesan-pesan politik yang terselubung,” kata Sekretaris Takmir Masjid Agung Manunggal Bantul, Saebani, saat ditemui Jumat (11/5) dua pekan lalu.

Takmir juga menolak bantuan takjil dari salah satu kelompok. Saebani terpaksa menampiknya karena pemberi mensyaratkan mengisi ceramah di masjid tersebut.

Permintaan tersebut, kata dia, tidak mungkin dipenuhi karena pengurus masjid belum mengetahui rekam jejak penceramah tersebut. Selain karena latar belakang penceramah yang belum jelas, takmir juga waswas terhadap isi ceramahnya yang tidak tertulis.

“Siapa pun boleh menggunakan masjid asal untuk kepentingan ibadah, tidak boleh untuk kepentingan politik dan lain-lain,” ujar dia.

Saebani memastikan penceramah yang akan mengisi acara Ramadan, termasuk pengajian rutin dan khotbah Salat Jumat sudah mendapat rekomendasi dari Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bantul.

Dia juga memastikan tidak ada penceramah yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bantul untuk mencegah masjid menjadi lokasi kampanye. “Kami sudah punya tim proteksi,” ucap Saebani.

Masji Agung Manunggal Bantul yang terletak di Simpang Empat Klodran, Jalan Jenderal Sudirman, Bantul ini saban hari disesaki jemaah. Setiap Jumat, lebih dari 2.000 orang salat di masjid tersebut. Setiap Salat Id, kompleks masjid seluas 3,5 hektare itu tidak cukup menampung jemaah.

Sementara itu, masjid agung di kabupaten lain mengantisipasi menyusupnya politik elektoral ke lingkungan masjid. Wahyudiono, Wakil Sekretaris Takmir Masjid Agung Wonosari mengatakan sejauh ini belum ada permintaan dari politisi untuk mengisi ceramah atau kegiatan lain di masjid. “Semisal ada, hal tersebut harus dirembuk dalam rapat pleno terlebih dahulu oleh takmir,” ucap dia. Wahyudiono mengatakan pendakwah di Masjid Agung selalu menyampaikan pesan keagamaan dan perdamaian.

“Fungsi masjid untuk beribadah bukan untuk politik praktis,” kata dia

Hal senada disampaikan Sarto, takmir Masjid Al Huda, di Desa Sodo, Paliyan, yang merupakan salah satu masjid tertua di Gunungkidul. Sarto tegas melarang kegiatan politisi berkampanye di lingkungan masjid.

“Meski belum ada, saya tidak perbolehkan untuk kepentingan politik praktis, dikhawatirkan dengan politik masuk masjid, justru akan memecah belah masyarakat,” ucap dia.

Pengurus Bidang Ketakmiran Masjid Syuhada Kota Jogja Usman Syaputra mengatakan sejak dulu Masjid Syuhada menghindari memilih penceramah kontroversial. “Kami tidak pernah mendatangkan khatib dari HTI,” ucap dia.

Takmir juga tidak ingin terlibat dalam politik praktis.

“Sebab dulu kami pernah punya pengalaman dinilai tidak independen oleh Bawaslu saat Pemilu. Sejak itulah, kami berkomitmen untuk selektif mendatangkan khatib,” kata dia.

Pengkhotbah yang diundang berasal dari berbagai golongan: NU, Muhammadiyah, cendekiawan dan lainnya. “Kami memilih penceramah sesuai bidang keilmuannya juga. Mereka sudah memahami kalau isi ceramah [seharusnya] menyejukkan dan bersifat tarbiyah [pendidikan],” ujar dia.

Politik secara Luas

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag DIY Luthfi Hamid mengatakan politisi sah-sah saja menggelar kegiatan di masjid selama bersifat positif dan bukan politik praktis alias demi meraup dukungan untuk kemenangan pemilu. Menurut dia, membahas politik secara luas di masjid sebenarnya diperbolehkan, yakni yang terkait dengan keadilan, kemanusiaan dan menjadikan negara lebih baik, adil, makmur, damai sentosa.

“Dalam Islam, politik diajarkan, namanya fiqih siyasah berkaitan dengan fikih politik, tetapi yang dibicarakan dalam fikih politik bukan politik praktis untuk mendukung ini dan tidak mendukung itu,” ujar dia.

Dia mengatakan politik praktis bersifat mengajak memilih seseorang. Sementara, jemaah masjid berasal dari berbagai latar belakang dengan afiliasi dan preferensi politik berlainan. Dengan tidak mempraktikkan politik elektoral di masjid, sama dengan menghargai beragam pemikiran dan berbagai golongan di dalam masjid.

Di tahun politik ini, Luthfi juga meminta agar masjid tidak digunakan sebagai tempat membunuh karakter lawan politik melalui ceramah.

“Langkah itu tidak bijaksana,” ujar dia.

Pengkhotbah, kata dia, boleh saja berbicara tentang kesejahteraan, keadilan, maupun menumbuhkan partisipasi.

“Khotib harus netral dari setiap pilihan politik, jangan menyebarkan kebencian, jangan menyebarkan hoaks yang ujungnya menciptakam rasa tidak suka terhadap kelompok lain atau bahkan menyanjung kelompok lain tanpa landasan rasional yang tepat,” ucap dia.

Luthfi juga tak mempermasalahkan takmir masjid memberikan ruang bagi calon anggota legislatif untuk menyampaikan ceramah di masjid. Namun, pendakwah tersebut bukan imam atau khatib jadi-jadian, melainkan mereka terbukti memiliki kemampuan yang mumpuni.

“Dan jangan berkampanye saat khotbah,” ucap dia.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir meminta agar seluruh takmir masjid selektif mendatangkan atau menentukan penceramah agar masjid tidak dijadikan arena pertarungan politik.

Dia bahkan mengimbau agar pengurus masjid tidak menggamit penceramah yang selama ini biasa berseberangan dengan NKRI atau gampang menyebut kelompok lain kafir.

Haedar meminta agar rekam jejak dan bidang keilmuan masing-masing khatib juga ditelusuri.

“Kalau ceramahnya berisi politik dalam arti nilai-nilai keagamaan, seperti keadilan, amanah, kejujuran, persamaan boleh dibawa ke mana saja [termasuk masjid], karena agama mempunyai nilai-nilai itu semua,” ucap dia.

Namun, masjid seharusnya tidak dipakai untuk mengampanyekan dukungan terhadap satu kelompok atau individu dan menolak kelompok politik lain.

Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Sleman Sa’ban Nuroni mengatakan telah mengumpulkan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kabupaten Sleman untuk memberikan arahan khusus mengenai materi ceramah Ramadan.

“Saat Ramadan banyak kegiatan yang terpusat di masjid, sehingga perlu perhatian khusus. Kami sudah mengumpulkan DMI Sleman. Secara spesifik [memberikan arahan] agar masjid tidak digunakan untuk kepentingan politik atau kampanye. Hal itu jangan sampai terjadi,” kata dia.

Kemenag Sleman menganjurkan agar masjid difungsikan untuk penjagaan akidah, penguatan ibadah, ekonomi umat, serta berdoa kepada Allah. Meski demikian, Kemenag belum menyiapkan tindakan khusus untuk mencegah politisasi masjid.

“Kami baru pada taraf memberikan arahan dan ajuran agar tidak menjadikan masjid untuk kegiatan politik praktis dan kampanye,” kata dia.

Sulit Dilarang

Larangan kampanye di tempat ibadah, tak terkecuali masjid, sebenarnya sudah ditegaskan dalam Undang-Undang No.7 tentang Pemilu dan Peraturan KPU No.12/2016 tentang Kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Kampanye tak boleh dilakukan di sekolah atau tempat ibadah. Menempelkan stiker dan memasang alat peraga kampanye di tempat ibadah dan halamannya juga haram.

Persoalannya definisi kampanye dalam dua beleid tersebut mengharuskan adanya visi, misi, dan program calon kepala daerah dan waktu pelaksanaannya ditetapkan oleh KPU. Politisi sering menggunakan celah ini dan menyebut ajakan memilih calon tertentu di luar jadwal kampanye bukan sebagai pelanggaran kampanye.

Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin sudah meminta agar semua kalangan menghormati tempat ibadah dan tak menggunakannya untuk kampanye. Rumah ibadah boleh dipakai untuk membicarakan politik yang substantif, yakni mendorong penegakan keadilan dan kejujuran, memenuhi hak dasar manusia, dan mencegah kemungkaran.

Sayangnya, mencegah politik elektoral masuk ke masjid tidak mudah. Pengamat politik dari Fisipol UGM Wawan Mas'udi secara hukum, tempat ibadah tidak boleh dipakai untuk kampanye. Secara etika, masjid juga tidak boleh dijadikan sebagai tempat aktivitas politik praktis.

“Jemaah ke masjid kan untuk beribadah, kalau tiba-tiba sampai di Masjid ada yang mengajak ini itu kan jadinya tidak nyaman,” kata dia.

Namun, masjid menarik bagi upaya menggiring opini massa karena di tempat tersebut, banyak orang berkumpul. Basis massa di masjid juga jelas. Masjid juga dapat membangkitkan politik identitas.

“Masjid bisa menjadi ekspresi bagi politisi untuk menunjukkan mereka peduli kepada masyarakat. Ini fenomena dari waktu ke waktu dan terus terjadi, selalu ada. Diatur kayak apa pun selalu ada, entah itu eksplisit maupun implisit,” ujar Wakil Dekan Fisipol UGM tersebut.

Dengan demikian, tidak ada regulasi yang cukup ampuh untuk membatasi aktivitas politik praktis di masjid.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pilkada DIY Digelar November Mendatang, Ini Syarat Calon Kepala Daerah dan Parpol Pengusungnya

Jogja
| Selasa, 16 April 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement