Advertisement

LONG-FORM: Lembaga Pendidikan Harus Dibersihkan dari Ideologi Sesat

Tim Lipsus Harian Jogja
Senin, 21 Mei 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
LONG-FORM: Lembaga Pendidikan Harus Dibersihkan dari Ideologi Sesat Aksi keprihatinan terhadap terorisme. - Antara/Rony Muharman

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pimpinan lembaga negara, menteri, dan tokoh masyarakat membersihkan lembaga pendidikan dari ideologi teror. Menurut sejumlah riset, intoleransi dan radikalisme mulai berkecambah di lingkungan sekolah, diidap murid, dan diajarkan guru.

Dalam status di akun Facebook yang sudah terverifikasi, Jokowi mengatakan upaya pencegahan di tingkat pendidikan, mulai dari yang paling dasar, jauh lebih penting dalam pemberantasan terorisme.

Advertisement

“Saya mengingatkan bahwa untuk mengatasi masalah terorisme, tindakan preventif jauh lebih penting dari langkah represi, yaitu membersihkan lembaga-lembaga pendidikan dari TK, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, juga ruang-ruang publik, serta mimbar-mimbar umum dari ajaran-ajaran ideologi yang sesat yaitu terorisme,” terang Jokowi dalam status yang diunggah Sabtu (19/5/2018).

Terorisme di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, pekan lalu, melibatkan anak-anak. “Padahal, seharusnya anak-anak ini masih senang bermain-main di halaman rumah atau di gang-gang, bersekolah, berkumpul dengan keluarga dan teman-teman,” tulis Jokowi.

Perhatian Jokowi terhadap pentingnya lembaga pendidikan dilindungi dari paham-paham radikal sejalan dengan kajian dari beberapa lembaga. Hulu dari terorisme adalah sikap intoleran yang ditanamkan sejak usia dini.

Direktur Riset Setara Institute Halili mengungkapkan penyigian oleh lembaganya menunjukkan benih intoleransi yang tertanam di benak anak-anak tumbuh menjadi radikalisme dan berujung pada aksi terorisme.

“Tidak langsung terjadi terorisme. Ada tahapan bertingkat dan semua berawal dari intoleransi,” ujar dia dalam diskusi mengenai terorisme di Jakarta, pekan lalu.

Pada 2016, Setara Institute menggelar survei terhadap 760 siswa SMA negeri di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat. Hasilnya, 35,7% siswa punya pikiran intoleran; 2,4% mengungkapkan gagasan intoleransi dalam tindakan dan perkataan; serta 0,3% berpotensi menjadi teroris.

Halili mengatakan pemerintah serta masyarakat luas harus mewaspadai gejala intoleransi agar tidak berkembang menjadi terorisme.

“Kita tentu harus fokus terhadap isu intoleransi sebagai hulu dari terorisme. Pemberantasan terorisme harus dilakukan oleh pemerintah dengan memperhatikan sektor pendidikan, yakni upaya pencegahan.”

Pentingnya memperhatikan pendidikan agar tak tercemar radikalisme sebenarnya sudah diutarakan sejak beberapa tahun lalu. Alamsyah M. Dja'far, peneliti Wahid Institute menguraikan kecemasan tentang gelombang radikalisme di tingkat pelajar sekolah negeri dalam artikel berjudul Intoleransi Kaum Pelajar.

Menurut dia, intoleransi justru menguat di sekolah negeri yang seharusnya mengampanyekan sikap tenggang rasa. Menurut kajian Wahid Institute, sikap intoleransi itu terwujud dalam penolakan mengucapkan selamat hari raya bagi pemeluk agama lain, semangat membalas perusakan tempat ibadah, dan keengganan menjenguk teman beda agama yang jatuh sakit.

Sikap intoleransi itu juga ada dalam kepala guru-guru yang semestinya mengajarkan kebaikan. Riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian pada 2011 menyatakan intoleransi menguat di lingkungan guru pendidikan agama Islam dan pelajar. Banyak guru yang mendukung perusakan dan penyegelan rumah ibadah, perusakan rumah anggota kelompok agama yang dituding sesat, dan penggunaan senjata untuk membela Islam dari ancaman agama lain.

Menurut dia, pengajaran agama masih doktriner dan belum diarahkan untuk menguatkan sikap keberagaman. Selain itu, mentor-mentor kegiatan keagamaan ekstrakurikuler kadang menularkan virus intorelansi, seperti doktrin agar siswa yang menghormat ke bendera merah putih.

Alamsyah mengatakan intoleransi menguat karena pimpinan sekolah dan guru mengabaikan benih-benih diskriminasi dan intoleransi. Selain itu, pejabat dan guru-guru masih kesulitan membedakan area keyakinan pribadi dengan posisinya sebegai penentu kebijakan yang semestinya bebas dari nilai pribadi. Akibatnya, ada kepala sekolah dan guru yang mudah mendiskriminasi siswa yang berbeda keyakinan.

Peran Guru

Maarif Institute mewanti-wati bahaya radikalisme masuk lewat kegiatan ekstrakurikuler dan juga keyakinan keagamaan guru. Peneilitian di enam kabupatan dan kota, yakni Padang (Sumatra Barat), Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), Surakarta (Jawa Tengah), Denpasar (Bali), dan Tomohon (Sulawesi Utara) pada Oktober hingga Desember memperlihatkan cara radikalisme menyusup ke sekolah, yakni lewat kegiatan ekstrakurikuler.

Direktur Maarif Institute Abdullah Darraz menyatakan kelompok radikal biasanya memanfaatkan ekstrakurikuler yang melibatkan pihak di luar sekolah.

Ini menjadi fenomena umum. Beberapa temuan telah mengonfirmasi radikalisme masuk lewat kegiatan ekstrakurikuler, misal dari alumni, lembaga konseling, lembaga kursus,” ujar Darraz.

Hasil penyigian Maarif Institute juga mengungkapkan peran guru dalam penyebaran radikalisme lewat kegiatan belajar mengajar. Darraz menyatakan beberapa guru menyisipkan pandangan radikalnya saat mengajar.

Agus Mutohar, kandidat doktor dari Fakultas Pendidikan Monash University, Australia, dalam tulisannya di The Conversation, mengatakan ada tiga tipe sekolah yang rentan terhadap paham radikal. Pertama, sekolah tertutup. Sekolah jenis ini biasanya membenturkan peradaban Islam dan Barat sertai menekankan pentingnya praktik ajaran Islam versi mereka dan menolak versi Islam yang kebanyakan dianut oleh kebanyakan muslim di Indonesia.

Kedua, sekolah terpisah. Sekolah jenis ini biasanya hanya merekrut guru agama dari kelompok mereka. Sekolah juga tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat yang tidak sesuai dengan paham mereka.

Ketiga, sekolah yang mengajarkan identitas Islam murni. Sekolah jenis ini biasanya menjadikan Islam sebagai konstruksi identitas tunggal dan menolak identitas-identitas yang lain. Kepala sekolah dari sekolah model ini, menurut Agus, biasanya memerintahkan semua siswa mengikuti semua ritual agama yang dianut di sekolah meski siswa berasal dari latar belakang organisasi Islam yang berbeda.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Totok Suprayitno mengakui pelajar merupakan kelompok rentan terhadap penyusupan radikalisme. “Efek pendidikan paham-paham itu menancap lama sekali,” ujar Totok

Totok meminta sekolah membangun kemampuan berpikir kritis siswa agar mereka punya bekal memadai untuk menangkal paham radikal. “Radikalisme biasanya bertentangan dengan pikiran logis, biasanya lebih ke hal-hal yang lebih emosional,” ujar dia.

Pengamat pendidikan dari Universitas PGRI Jogja Buchory mengatakan antisipasi radikalisme tidak bisa hanya dibebankan oleh lembaga pendidikan, tetapi juga keluarga dan masyarakat. “Jika tiap institusi berjalan sendiri-sendiri, tentu hasilnya tidak maksimal.”

Buchory menyarankan pentingnya membentuk keluarga yang membiasakan hidup damai, rukun dalam perbedaan. Dia menyebutnya keluarga Pancasila.

“Meskipun di dalam keluarga ada anggota yang agamanya berbeda, harus diterima dan hidup bersama dengan baik serta rukun,” ujar dia kepada Harian Jogja.

Buchory meyakini jika keluarga kecil sudah biasa dengan hidup damai dalam perbedaan, kehidupan bangsa akan damai dan menyimpan banyak persoalan. Namun, membentuk keluarga Pancasila bukan perkara mudah.

“Selama ini seolah-olah Pancasila itu hanya tanggung jawab guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang harus mengantarkan menjadi manusia Pancasila. Saya kira ini harus ada gerakan menyeluruh untuk mengamalkan Pancasila,” ujar dia.

Dia sudah menyarankan kepada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY untuk memerintahkan kepada seluruh guru di DIY agar menyisipkan nilai Pancasila di semua mata pelajaran. “DIY harus bisa memelopori itu,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Duh, Desentralisasi Sampah DIY Mundur Lagi Menjadi Mei 2024

Jogja
| Jum'at, 19 April 2024, 16:07 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement