Advertisement

20 TAHUN REFORMASI: Daya Nalar Kritis Mahasiswa Kini Tumpul

Bernadheta Dian Saraswati/Maya Arina Pramudita
Senin, 21 Mei 2018 - 12:35 WIB
Maya Herawati
20 TAHUN REFORMASI: Daya Nalar Kritis Mahasiswa Kini Tumpul Ilustrasi demo mahasiswa - Antara

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Senin 21 Mei, dua puluh tahun silam, Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Mundurnya presiden yang berkuasa 32 tahun itu menandai era baru Indonesia. Lahirlah era reformasi yang diwarnai dengan aksi puluhan ribu mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR dua hari sebelum mundurnya Soeharto.

Setelah 20 tahun berlalu, bagaimana wajah gerakan mahasiswa saat ini? Ketua Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jogja, Julio Adi Putra Hutabarat, 25, mengakui jika pola pergerakan mahasiswa saat ini sudah berbeda.

Advertisement

Mahasiswa sekarang seakan berada dalam posisi kebingungan. Mereka tidak tahu siapa lawan mereka sehingga gerakan yang dilakukan hanya sebuah formalitas dan penyampaian isu juga dangkal. “Kenapa? Karena daya nalar kritis mahasiswa tumpul,” ujarnya, pekan lalu.

Mahasiswa yang dulu membela rakyat kini dianggap berseberangan. Menurut Julio, pada saat ini masyarakat ada yang justru terganggu dengan aksi mahasiswa di jalanan karena menimbulkan macet, misalnya demonstrasi tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Aksi mahasiswa itu mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada mahasiswa menjadi turun. “Mahasiswa sering distigmakan, mending kuliah [daripada turun ke jalan]. Padahal dari lubuk hati, saya ingat bapak ibu saya di kampung yang sangat butuh BBM,” tuturnya.

Dulu, kata Julio, mahasiswa zaman Orde Baru mengenal jelas siapa musuhnya yaitu rezim Soeharto. Namun sekarang, mahasiswa yang menurutnya harus independen, justru terpecah dua. Ada yang pro pemerintah dan ada yang kontra pemerintah.

Namun ia tidak menyalahkan mahasiswa begitu saja. Saat ini ia menyebut mahasiswa berada dalam masa transisi. Disebutnya transisi karena pola lama seperti demonstrasi dan diskusi sudah mulai ditinggalkan, sementara pola baru dalam mengungkapkan aspirasi juga belum ditemukan.

Teknologi berupa media sosial bisa menjadi jalan dalam menjembatani transisi itu. Mahasiswa bisa beraspirasi lewat media sosial. “Mahasiswa bisa hidup pada zamannya. Organisasi ke depan harus dekat dengan fakta dan jangan hanya menjadi penyebar hoaks,” tegasnya.

Kendati gerakan mahasiswa masa kini disebutnya tumpul, GMNI masih terus berkegiatan. Fokus kegiatan GMNI saat ini lebih ke arah internal yaitu dengan berdiskusi membentuk pribadi mahasiswa yang lebih berkarakter, tidak mudah terpengaruh, dan mampu mengasah nalar kritis agar tidak tumpul. Untuk diskusi, GMNI sampai mendatangkan para pakar di bidangnya.

“Sebelum kami fokus ke internal, kemarin-kemarin kami fokus pembahasan energi dan agraria. Saat berdiskusi kami sampai mendatangkan orang yang pakar di bidangnya. Seperti saat bahas Freeport, kami hadirkan staf khusus Kementerian ESDM,” katanya. GMNI saat ini juga sedang memperbanyak basis atau penambahan kuantitas anggota di kampus-kampus di Jogja.

 

Dianggap Jadul

Mhd. Zakiul Fikri, 23, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jogja, kepada Harian Jogja, Kamis (17/8) dia mengatakan jika mahasiswa masa kini lebih terlihat sporadis dalam melakukan aksinya. “Seharusnya kalau mau ada gerakan ya bareng-bareng. Kalau mau di Titik Nol ya di Titik Nol semua, jangan ada di tempat lain. Kita harus bersatu,” tuturnya.

Gerakan mahasiswa masa kini penuh tantangan. Dari sisi internal, upaya pengkaderan disebutnya relatif sulit. Anak muda zaman sekarang tidak tertarik masuk ke dalam organisasi ekstra kampus seperti HMI yang notabene organisasi lawas dan dianggap jadul atau konvensional karena lahir di zaman Orde Baru.

Bagi sebagian anak muda, organisasi lawas seperti HMI dipandang tidak bisa memenuhi kebutuhan anak muda masa kini yang melek teknologi.

 

Sementara itu, dari sisi eksternalnya, berkaca dari tragedi di simpang tiga Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga yang berujung perusakan pos polisi belum lama ini, Fikri melihat jika mahasiswa bukan lagi menjadi agent of change atau agen perubahan yang mampu membawa kedamaian. Bukan menjadi kaum intelektual yang menjadi problem solver tetapi justru problem maker.

“[Kasus di UIN] Itu sangat menyedihkan, sangat disayangkan. Harusnya mahasiswa yang memperjuangkan masyarakat, tetapi malah bersinggungan dengan masyarakat,” katanya.

Melihat tantangan kemajuan saat ini, pola gerak kegiatan mahasiswa ekstrakampus menurutnya memang sudah berbeda. Termasuk dalam menyikapi persoalan bangsa, cara berdemo seperti yang dilakukan saat zaman Orde Baru lalu menurutnya sudah bukan menjadi cara yang tepat jika diterapkan di masa sekarang.

Menurutnya, kontribusi gerakan mahasiswa masa kini terhadap bangsa cukup dilakukan dengan cara sederhana yaitu memperkuat jati diri dalam internal gerakan tersebut. “Masalah Indonesia itu rumit. Kami sebaiknya fokus pada zona perkaderan untuk mempersiapkan calon elite-elite politik. Organisasinya harus bisa dididik terlebih dulu,” tuturnya.

Gerakan HMI menurutnya juga memberikan ajaran tidak hanya seputar larangan penindasan tetapi juga seputar kebangsaan dan intelektual. “Jadi tidak sebatas belajar agama. Banyak yang bisa dipelajari di dalam gerakan itu,” ungkapnya.

 

Pilih di Tengah

Ahmad Mizdad Hudani, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Cabang Sleman menyebut dunia pergerakan mahasiswa saat ini memiliki fokus yang berbeda dari generasi sebelumnya.

“Saat ini semakin banyak konflik horizontal yang terjadi di masyarakat. masyarakat saling menyerang dari segi suku,agama, kepercayaan, ras, perebutan lahan, dan sebagainya. Permasalahan itu dahulu tidak semasif saat ini, oleh karena tantangan konflik horizontal yang terjadi sekarang, masyarakat menjadi mudah terpecah belah. Fokus pergerakan mahasiswa saat ini bukan untuk menggulingkan penjajah, tetapi untuk menyelesaikan konflik horizontal yang ada, permasalahan di sekitar masyarakat,” terang Dani belum lama ini.

PMII Sleman pun memposisikan berada di tengah untuk memperjuangkan persoalan kemanusiaan. “Di tengah bukan berarti tidak memihak, tetapi kami mempertimbangkan berbagai akibat dari sisi kanan dan kiri, dari sisi masyarakat dan pemerintah, untuk mencari kemaslahatan yangg seluas luasnya bagi Indonesia. PMII Cabang Sleman juga mempertimbangkan kultur masyarakat yang ada dan juga nasihat para sesepuh agama ataupun masyarakat, sehingga sikap dari PMII cabang Sleman bisa merepresentasikan kalangan lainnya yang memiliki kepentingan untuk membela masyarakat,” katanya.

Ia menyebut organisasinya berfokus pada persoalan kemanusiaan dengan mengkritisi isu perebutan lahan yang merugikan masyarakat, intoleransi, dan isu politik ekonomi sosial budaya lainnya yang memecah persatuan Indonesia.

"Kami aktif mendampingi warga korban penggusuran contohnya warga Kendeng. Bahkan demo dosen Geologi UGM yang memberi keterangan palsu pun kami yang dampingi. Terakhir pendampingan warga Kulon Progo waktu penggusuran dan sampe sekarang. Dalam kasus intoleransi, kami aktif menjalin aliansi/komunikasi dengan berbagai elemen untuk mengampanyekan dan merespons problem tersebut. Seperti BOM Surabaya kemarin, kami bikin doa bersama dengan kawan-kawan Gusdurian di Tugu Jogja dan pernyataan kami menolak Aksi teror tersebut," terang Sidik N.T, anggota PMII Sleman.

 

Mengalami Kebingungan

Soeprapto dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut gerakan mahasiswa sulit dipisahkan dari kehidupan politik yang terjadi di Indonesia.

 

"Menurut pengamatan saya, pergerakan saat ini muncul karena banyak kepentingan-kepentingan yang semakin mengerucut. Di sisi lain saat mahasiswa juga mengalami kebingungan karena banyaknya berita hoaks yang membingungkan hal itu berdampak pada pergerakan itu sendiri," ujar Soeprapto.

Soeprapto menyebutkan gerakan mahasiswa saat ini berbeda dengan 20 tahun lalu. Kekuasaan pemerintah dan kebijakan yang berbeda pada periode-periode tertentu membuat fokus gerakan mahasiswa juga menjadi berbeda.

"Dalam aspek historik, mulai dari era Sukarno dan era Soeharto hingga sekarang, afiliasi politiknya berbeda. Hal itu berdampak pada kerjasama dengan negara-negara lain dan juga kebijakan yang terjadi pada setiap periode. Hal itu juga semakin menekankan bahwa kegiatan politik tidak dapat terlepas dari kegiatan ekonomi. Ditambah saat ini dengan berita hoaks yang membuat mahasiswa saat ini bingung harus percaya yang mana, " ujar Soeprapto.

Soeprapto menyebutkan bahwa di balik gerakan mahasiswa terdapat "motor" yang mendorong kegerakan itu terjadi. Jika dulu, apa yang disampaikan seolah-olah berusaha menjelaskan berbagai problema masyarakat dan kemudian membuat mahasiswa bergerak.

Berbeda dengan sekarang dengan kepentingan yang semakin mengerucut pada kelompok tertentu. "Hal itu terjadi semenjak kita [Indonesia] menganut sistem multipartai," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Budayawan di Jogja Dilibatkan Pembuatan Maskot Pilkada 2024

Jogja
| Rabu, 24 April 2024, 14:47 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement