Advertisement

Hukuman kepada Terdakwa Korupsi Selama 2017 Masih Mengecewakan

MG Noviarizal Fernandez
Kamis, 03 Mei 2018 - 22:25 WIB
Nugroho Nurcahyo
Hukuman kepada Terdakwa Korupsi Selama 2017 Masih Mengecewakan Terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik Setya Novanto (kedua kanan) menuju mobil tahanan usai menjalani sidang putusan di pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (24/4/2018). - ANTARA/Sigid Kurniawan

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Penjatuhan hukuman terhadap terdakwa korupsi yang dilakukan oleh lembaga peradilan selama 2017 dinilai masih mengecewakan.

Lalola Easter, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan rerata vonis yang dijatuhkan pada 2017 hanya dua tahun dua bulan penjara atau tergolong dalam kategori ringan. Begitupula dengan vonis perkara korupsi pada tahun-tahun sebelumnya, di mana sebanyak 392 terdakwa divonis ringan ada 2015 dan 479 terdakwa divonis ringan pada 2016.

Advertisement

“Hal ini dapat dipengaruhi juga oleh penggunaan pasal yang didakwakan oleh jaksa yaitu, Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor, di mana pidana minimal yang terdapat pada kedua pasal tersebut adalah 4 tahun dan 1 tahun,” ujarnya, Kamis (3/5/2018).

Menurutnya, ringannya pidana penjara ini sangat disayangkan, karena para terpidana korupsi tidak akan mengalami efek jera yang diharapkan. Selain itu,  penjeraan mengenai denda maupun pidana tambahan uang pengganti juga tidak maksimal. Hal ini diperburuk dengan minimnya upaya pemiskinan terhadap koruptor berupa penggunaan pasal pencucian uang untuk memaksimalisasi pengembalian aset dari tindak pidana korupsi.

Dari 1381 terdakwa, hanya empat terdakwa yang dituntut menggunakan UU TPPU yaitu, Joresmin Nuryadin pada perkara korupsi Pembangunan Jalan Hotmiks Kabupaten Seluma 2011, M. Rozali Djafri pada perkara Korupsi Pengadaan Lahan MAN 2 Bengkulu, Christopher O Dewabrata pada perkara korupsi proyek tanggul uruk Teluk Radang dan Sunoto pada kasus Korupsi dana Rumah Sakit Bhayangkara. Lain dari itu tidak ada, bahkan KPK pun tidak.

Vonis ringan ini menurutnya akan semakin tidak menjerakan manakala para terpidana perkara korupsi dengan mudah menerima remisi dan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM. Pada akhirnya, penjeraan pelaku tindak pidana korupsi hanya menjadi wacana di antara aparat penegak hukum.

Pihaknya juga melihat minimnya pidana tambahan uang pengganti yang dibebankan terhadap koruptor. Pada 2017, jumlah kerugian keuangan negara yang berhasil diidentifikasi dari terdakwa yang diadili adalah sebesar Rp 29,419 triliun. Dari keseluruhan kerugian keuangan negara sebesar Rp 29,419 triliun, pidana tambahan berupa uang pengganti yang dibebankan terhadap terdakwa hanya Rp1,446 triliun atau sebesar 4,91%.

Ketimpangan jumlah ini menurutnya sangat disayangkan, karena selain pidana penjara, pidana tambahan uang pengganti untuk perkara-perkara yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, diharapkan dapat memaksimalisasi upaya pengembalian aset dan kerugian negara. Namun, hal tersebut tidak tercermin dari total pidana tambahan uang pengganti dalam putusan perkara korupsi sepanjang 2017.

“Bentuk pidana tambahan lain yang sepatutnya juga dijatuhkan, terutama bagi pelaku korupsi yang berlatar belakang politisi adalah, pencabutan hak politik. Namun baik pencabutan hak politik, maupun TPPU masih minim diterapkan,” paparnya.

ICW, Lalola Easter,, juga menilai selama 2017, tuntutan jaksa baik dari KPK dan Kejaksaan juga masih masuk dalam kategori ringan. Jika rata-rata vonis penjara perkara korupsi adalah 2 tahun 2 bulan penjara,  rata-rata besaran tuntutan jaksa hanya tiga tahun dua bulan penjara. Namun, terdapat perbedaan pada rata-rata tuntutan Jaksa penuntut umum dari KPK dengan Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan, di mana rata-rata tuntutan jaksa dari KPK adalah 5 tahun 3 bulan penjara sedangkan jaksa dari kejaksaan adalah 3 tahun 1 bulan penjara.

Akibat besarnya jumlah perkara yang dipegang oleh Kejaksaan, maka besaran rata-rata penuntutan KPK yang sudah masuk kategori sedang, tidak signifikan dampaknya dalam mempengaruhi rata-rata tuntutan perkara korupsi secara umum pada semester 2 2017. Rendahnya tuntutan jaksa ini juga yang harus dikritisi, karena biar bagaimanapun hakim pasti mempertimbangkan tuntutan jaksa sebelum memutus.

“Jika jaksa memang menuntut terdakwa korupsi dengan tuntutan penjara yang ringan, sudah barang tentu hakim akan bertolak dari angka tersebut untuk mempertimbangkan putusannya. Hal inilah yang sudah terkonfirmasi pada beberapa grafik di atas, mengenai kecenderungan tuntutan dengan putusan yang sejalan besarannya, yaitu pada kategori ringan,” kata Lalola Easter.

Penegak hukum juga menurutnya cenderung hanya menggunakan pasal yang sama untuk mengungkap perkara korupsi. Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor bahkan dapat dianggap sebagai pasal sapu jagat karena digunakan secara berlebihan pada perkara korupsi yang diputus pada 2017.

Dari sekitar 13 pasal yang mengatur 30 bentuk tindak pidana korupsi dan 3 pasal yang mengatur 6 bentuk tindak pidana lain yang berkaitan dengan tipikor, yang ada dalam UU Tipikor, hanya sekitar 16 Pasal yang kerap digunakan pada perkara tipikor.

“Disparitas putusan masih menjadi terjadi dalam putusan dalam perkara korupsi. Saat upaya menghukum kejahatan luar biasa korupsi dengan seberat-beratnya terus didorong, lembaga peradilan justru menimbulkan persoalan disparitas. Sebab putusan pada akhirnya akan mencederai rasa keadilan masyarakat," ungkapnya.

Menurut dia, disparitas membuat putusan pengadilan menjadi diragukan publik. Hal ini disebabkan karena perkara yang serupa diputus berbeda. Dalam konteks korupsi, disparitas membuka peluang memutus perkara korupsi dengan kerugian negara besar untuk diputus lebih ringan dibandingkan perkara dengan nilai kerugian negara kecil.

Selain itu, menurut Laola, dalam kondisi yang ekstrim, disparitas putusan bisa terjadi karena adanya transaksi jual-beli putusan. Hal ini dikarenakan hakim yang memiliki kemandirian dan independensi dapat memutus sebuah perkara korupsi sesuka hatinya. "Tanpa pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan,” urainya.

Jika dilihat dari latar belakang profesi pelaku-pelaku korupsi menunjukkan ada masalah serius dalam tata kelola pemerintahan daerah. Aparatur sipil negara masih selalu menduduki posisi pertama sebagai pelaku korupsi. Jika selama ini para kepala daerah menyatakan komitmennya untuk melakukan reformasi birokrasi sekaligus pencegahan korupsi, hal tersebut tidak tampak dari data tren vonis 2015-2017. Begitu pula dengan sektor swasta yang tetap menempati posisi kedua sejak 2015 – 2017.

“Patut diduga, korupsi yang melibatkan keduanya adalah korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa, maupun dalam konteks penerbitan izin usaha. Karena hanya dalam konteks itulah terdapat persinggungan langsung natara pegawai pemda dengan swasta,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Kembali Tampil di Pilkada Gunungkidul Tahun Ini, Ini Gagasan yang Diusung Sutrisna Wibawa

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 20:17 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement